Minggu, 24 Februari 2008

Quic Count vs Dukun

Quick Count, atau sistem perhitungan cepat pemilihan umum, Pilkada gubernur atau bupati, menyentak kita saat kemenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan HM Jusuf Kalla, dengan demikian cepat diketahui. Namun dari sejumlah lembaga penyelenggara quick count, PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang akhirnya paling terlihat menonjol.
Sebelumnya petinggi Partai Golkar, sudah mempercayai proses rehabilitasi pamor mereka pada PT LSI, yang dikendalikan Denny JA, sebagai direktur eksekutif, tak heran jika kemudian Prio Budi S, bisa tampil di sejumlah TV swasta dengan suara lantang, menjelaskan bagaimana Partai Golkar mampu bertahan dari gempuran partai reformasi. Semua itu tak lepas dari jasa konsultasi PT LSI.
Kembali soal quick count, yang sejatinya adalah perhitungan suara di sejumlah sampel TPS yang dipilih secara acak dari seluruh populasi TPS yang ada. Sampel dipilih secara random, dikawal relawan di masing-masing TPS untuk melaporkan hasil setelah ditabulasi dan dihitung. Hasilnya, menurut PT LSI, tetaplah sebuah perkiraan (pendugaan) persentase perolehan suara masing-masing kandidat. Hasilnya sudah bisa diketahui, siapa gubernur, walikota atau bupati terpilih.
Tujuan quick count, kata Fajar Estamin, salah seorang pentolan PT LSI di Pilgub Sulsel, kepada penulis adalah dengan statistik yang tepat, cepat, praktis, murah, akurat dan dapat dipercaya untuk mengetahui hasil pilkada. "Selama ini kami tak pernah meleset, selisihnya paling jauh 1%," katanya. Hasil itu pula bisa dijadikan sebagai data pembanding bagi KPU. Alasan lain yang dikemukakan PT LSI, yakni hasil yang mereka keluarkan bisa menjadi katup pengaman dalam mengurangi ketegangan publik dan politik lokal yang disebabkan adanya selang waktu perhitungan manual yang dilakukan KPUD, yang biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu. Alasan itu boleh jadi layak dipercaya, mengingat di 6 pilkada diantaranya Kabupaten Sarolangun, Maluku Tengah, Kota Ambon, Kota Kupang, Bangka Belitung, DKI Jakarta, hasil mereka membuat sejumlah dukun politik gigit jari dan mati pasaran, bahkan mati kutu.
Lalu mengapa harus menimbulkan pro kontra?. Alasannya sangat sederhana, kekalahan selalu dengan berat hati bisa diterima, terlebih jika dalam proses pertarungan sudah menguras bukan saja tenaga, melainkan biaya, bahkan harga diri. Satu-satunya alasan rasional yang bisa dijadikan pembenaran, guna menolak hasil quick count yang oleh mereka yang ternyata sudah dikalahkan sebelum palu sidang pleno KPUD diketok adalah, metode quick count, masih dalam taraf perdebatan.
"Di negara tempat metode quick count itu lahir, masih berlangsung perdebatan soal akurasi hasilnya," kata Prof Dr H Anwar Arifin, anggota DPR-RI saat ditemui penulis sehari usai pengumuman hasil pilgub Sulsel oleh PT LSI. Namun menurut pakar komunikasi itu, lembaga pengelola quick count, masih terus berupaya memperbaiki metode mereka. Terlebih di Indonesia, yang secara geografis memiliki daerah-daerah yang agaknya sulit terjangkau transportasi maupun komunikasi. Namunpun demikian, kata Prof Anwar, kenyataan saat ini hasil quick count, memuaskan sejumlah pihak.
Komentar lain yang sempat didengar penulis dari kubu mereka yang merasa dikalahkan sebelum pleno KPUD adalah, "Jelas saja hasilnya menang, karena itu diorder, dibayar ratusan juta rupiah, sehingga sangat tidak etis kalau dikalahkan," kata sumber Upeks itu dengan nada kurang senang. Benarkah order dan bayaran, bisa membeli keakuratan hasil pilkada?. Indonesia, negeri yang baru saja menikmati kemerdekaannya dalam hitungan puluhan tahun, sudah bisa menjajari Amerika Serikat, dalam menjalankan roda demokrasi moderennya dalam hal memilih pemimpin. Maka tak perlu heran, jika kemudian metode quick count, yang lahirnya lebih muda dari model makanan siap saji semisal kentucky fried chicken, memaksa kita harus menelan keajaiban baru bernama demokrasi perhitungan cepat.
Belum lagi soal tardisi orang pintar alias dukun, yang selama ini dipakai dan dipercaya oleh para pemburu jabatan alias pejabat dan calon pejabat. Dukun, terkadang menjelang pilkada mereka tumbuh subur bak cendawan di musim hujan, hasilnya boleh jadi benar, hampir benar, bahkan kebanyakan salah, sehingga salah seorang pejabat di Kota Makassar, usai terpilih, kepada penulis berkata, "Makanya jangan pakai dukun luar, pakai saja yang produk lokal, toh hasil mereka salah semua."
Lembaga survei, dengan metode quick count, memang sedang berjuang memantapkan posisi mereka dalam iklim demokrasi kita yang tengah beranjak modern, dan dewasa secara instan. Resikonya, bukan hanya kejutan-kejutan akibat belum terbiasanya otak dan hati kita menerima kinerja statistik, melainkan telah mendarah dagingnya jiwa kita dengan komentar serba pasti yang dikeluarkan para dukun politik kagetan tadi. Tetapi boleh jadi, saat ini kita juga sedang belajar memahami dengan 100% keyakinan bahwa mentalitas spekulasi, manipulasi serta animisme, dalam sistem perpolitikan kita, sudah bakal tergeser habis oleh metode baru yang bernama quick count.

Tidak ada komentar: