Senin, 25 Februari 2008

Ibu dan Ayah


Hidup bagaikan garis lurus, Tak pernah kembali ke masa yang lalu, Hidup bukan bulatan bola, Yang tiada ujung dan tiada pangkal..!, Syair lagu diatas, sering kita dengar dari lantunannya Bimbo, liriknya mengingatkan kita akan sebuah akhir. Kehidupan ini tidak akan berlangsung abadi, hingga suatu saat kita akan menaiki tangga usia, semakin lama usia kita bertambah, semakin berkuranglah sisa umur kita dan andai Tuhan belum memanggil kita di usia muda maka kitapun akan menjadi tua.

Melihat garis-garis di wajah sosok yang kita cintai ibu dan ayah kita, ketika kulitnya mulai keriput, rambut hitamnya mulai memutih dan kesehatannya kian menyusut, kita diingatkan oleh-Nya bahwa kitapun sama, suatu saat nanti akan menjadi tua, renta dan butuh begitu banyak pertolongan, kasih sayang serta perhatian dari anak-anak kita.

Dan sekaranglah saatnya bagi kita untuk memainkan peran sebagai seorang anak, memelihara dan menyayangi ayah dan ibu kita. Dahulu sembilan bulan kita dalam rahim ibu, kita banyak menyusahkannya, duduk ia tak enak, berbaring tak nyaman. Tapi ibu sabar menanti hari-hari kelahiran kita. Tiba kita di dunia, ibu tersenyum bahagia mendapatkan kita sebagai anugerah dari Tuhan, disusuinya, dimanjakannya dan dibesarkannya kita dengan penuh kasih sayang. Diajarkannya kita berbagai ilmu dan sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi kita diajarkan untuk mengenal Allah sebagai Tuhan kita.

Menginjak remaja, kita semakin menyusahkannya, biaya sekolah yang kian besar serta kenakalan-kenakalan yang sering kita lakukan tak jarang membuat hati ibu terluka. Sikap kita yang kasar, egois dan selalu merasa benar terkadang membuatnya menangis, tapi ibu tetap sabar. Dibimbingnya kita untuk memperbaiki sikap dan tingkah laku kita, ibu selalu menanamkan cinta kepada kita anak-anaknya.

Berbahagialah bagi yang masih mempunyai ibu juga ayah, karena masih mempunyai kesempatan untuk memelihara dan menyayangi mereka. Dan saat kita menginjak dewasa, ketika ayah yang dulu kekar sekarang sering terbaring sakit, dan ketika ibu yang dulu selalu melayani kita makan sekarang sering terbaring lemah, inilah saat-saat yang baik bagi kita untuk memuliakan
mereka, melayani, memelihara dan memberikan perhatian kepada mereka. Inilah kesempatan kita untuk menjadi anak yang shaleh buat mereka bahagia di ujung usianya, dan buat mereka bangga dengan kita.

Ingatkah, dahulu ketika kebetulan kita terbangun dari tidur, terlihat ibu sedang berdoa untuk kita, agar menjadi anak yang baik dan tercapai semua cita. Jenguklah ibu dan ayah kita selagi bisa, sebelum semuanya berakhir menjadi kenangan, bawakan oleh-oleh yang disukainya. Sebab jika mereka telah tiada maka tak akan ada lagi yang menunggu kita pulang, tak ada lagi menyiapkan kita sarapan, yang ada hanyalah rumah yang akan menjadi kenangan.

Kehilangan mereka akan sangat menyakitkan, waktu berabad-abad tak akan dapat menghapus kerinduan dan keinginan untuk bertemu dengan mereka. Walau hati telah ikhlas atas kepergian mereka tidak berarti rasa kehilangan telah sirna dari lubuk hati paling dalam ... bertemu dalam mimpi kemudian menjadi keinginan yang selalu timbul ... Muliakanlah orang tua kita karena Allah meminta kita melakukannya dan kitapun akan menjadi tua.

Makassar, 23 September 2003

Minggu, 24 Februari 2008

Anakku....



Cinta, hanya itu yang kupunya
Hanya itu yang bisa kuberi padamu
Dalam gelap malam
Cerah mentari pagi
Siang terik
Di tetes keringatku 
Mengalir hanya padamu

Anakku...
Hanya Ilahi Rabb yang tahu
Hanya karena-NYA cintaku padamu
Dalam gelombang laut
Badai angin dan hujan
Deras sungai di terjalnya tebing
Dalam tetes air mataku
Kalian tetap di hatiku


Makassar, 24 Februari 2008

Biaya Sekolah Pembawa Kematian

Selamatkan anak-anak kita dari ancaman bahaya bunuh diri. Depresi, tekanan sosial, rasa malu, dipermalukan, minder berlebihan, dan kemiskinan membuat sebagian anak-anak kita di berbagai daerah memutuskan BUNUH DIRI...! Belum kering dari ingatan kita semua, Heryanto (12 tahun) seorang siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) Muara Sanding IV Garut, Jawa Barat mencoba gantung diri karena tidak mampu bayar biaya kegiatan ekstrakurikuler sebesar Rp2.500. Nyawanya anak sulung dari tiga bersaudara keluarga Suryana (42) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pikul di Pasar Ciawitali masih terselamatkan oleh tim medis Rumah Sakit Dokter Slamet, Garut, Jawa Barat.
Simak saja kisah Aman Muhammad Soleh (14), siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Bocah asal Kampung Cabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara itu nekat mengakhiri hidupnya di usia muda dengan menggantung diri dan juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasannya, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya, orangtuanya tak bisa menyediakan uang sebesar Rp150.000 untuk membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah.
Masih seputar usaha bunuh diri remaja belasan tahun, Linda Utami (15), siswi kelas II SLTPN 12 Jakarta, juga ditemukan tewas gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia diduga mengakhiri hidupnya karena depresi. Pasalnya, ia sering diejek temannya gara-gara pernah tidak naik kelas.
Nazar Ali Julian berusia 13 tahun. Dia bukan orang terkenal. Di sekolah,Nazar dikenal rajin dan tergolong pandai. Dia juga anak baik, rajin ke masjid, shalat, dan puasa Senin-Kamis.
Belakangan ini, setelah kedua orang tuanya bercerai, Nazar berubah. Dia lebih suka tidur di rumah temannya, tidak di rumah bibinya di Kampung Ciwalen Pasar, Desa Ciwalen, Cianjur. Mungkin dia kesepian. Apalagi ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi sejak dua bulan lalu.
Sabtu (14/2) sore, Nazar yang baik dan santun itu mengambil pisau dapur. Dia masuk ke kamar mandi dan menghunjamkan pisau tersebut berkali-kali ke perutnya. Nazar, remaja yang baru tumbuh, bunuh diri! Nazar jatuh dan terkapar berlumur darah.
Nurdin bin Adas berusia 12 tahun. Pekan lalu warga Kampung Cikareo, Desa Salakuray, Garut, itu ditemukan tewas tergantung di plafon dapur rumah kakaknya. Nurdin diduga bunuh diri karena tak kuat menahan kerinduan kepada almarhumah ibunya.
Oktober 2004, Bambang Surono berusia 11 tahun, murid kelas V SD warga Semarang, JawaTengah, ditemukan tewas tergantung. Diduga Bambang bunuh diri.
Eko Haryanto (15), siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, melakukan upaya bunuh diri lantaran malu gara-gara menunggak uang sekolah selama 10 bulan. Tindakan nekat itu ia lakukan dengan cara menggantung diri menggunakan selendang di ruang tamu rumahnya. Oleh orangtuanya, bocah tersebut segera dilarikan ke rumah sakit. Jiwanya memang tertolong, namun ia koma dan tidak sadarkan diri.
Menurut Sohirin, ayah korban, Eko mengaku malu dipanggil ke ruang guru untuk ditagih uang sekolah. Saat itu banyak pengajar yang berkumpul. Sohirin mengakui hampir satu tahun ini belum membayar uang sekolah anaknya karena penghasilan sebagai kuli songgol (membawa barang-barang di pasar) hanya cukup untuk makan. Sohirin sudah beberapa kali mengajukan beasiswa kepada pihak sekolah. Namun, tak pernah mendapat tanggapan.
Lain lagi kisah Aman Muhammad Soleh (14), siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Bocah asal Kampung Cabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara itu nekat mengakhiri hidupnya di usia muda dengan menggantung diri dan juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasannya, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya, orangtuanya tak bisa menyediakan uang sebesar Rp150.000 untuk membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah.
Masih seputar usaha bunuh diri remaja belasan tahun, Linda Utami (15), siswi kelas II SLTPN 12 Jakarta, juga ditemukan tewas gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia diduga mengakhiri hidupnya karena depresi. Pasalnya, ia sering diejek temannya gara-gara pernah tidak naik kelas.
Di Bogor, diduga hanya gara-gara malu belum bayar uang buku sebesar Rp30 ribu, Mudin Rudiansyah (13) siswa kelas I Madrasah Tsnawiyah (MTS) Alhusna Curug, Kabupaten Tangerang, bunuh diri.
Anak yatim-piatu itu nekad mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan tali di pohon kecapi di Kampung Pabuaran RT 05/03, Desa Curug Kulon, Tengerang. Mayat korban pertama kali ditemukan Sabtu (18/12) sekitar pukul 06.00 oleh Ima (26) tetangga korban.
Sebelum meninggal Mudin sempat menuliskan surat wasiat. Surat itu diselipkan di balik bukunya. Bunyi wasiat itu; 'Daripada saya menyusahkan mamang dan bibi terus, saya mau nyusul ibu dan bapak saja’’. Mudin selama ini diasuh oleh paman dan bibinya, Kohar dan Acih. Ayahnya sudah meninggal dunia satu tahun lalu. Sementara ibunya meninggal sembilan bulan lalu karena sakit.
Di Kebumen, sungguh memelas suratan hidup Sembodo. Bocah berumur 10 tahun siswa kelas empat SDN Pohkumbang, Kecamatan Karanganyar, Kebumen itu kemarin nekat gantung diri hanya karena tak dibelikan buku gambar. Dia memakai ban dalam sepeda warna merah untuk mengikat lehernya dengan urang-urang atau kayu bawah usuk. Berhubung tingginya belum cukup, diduga dia naik dari lincak (amben kecil) lalu memanjat karung berisi gabah. Lantaran masih belum sampai, dia memakai ceting (tempat nasi dari bambu) untuk mengaitkan ban dalam itu ke bawah usuk dan lehernya. Tragisnya, pada peristiwa pagi itu sebenarnya emaknya, Ratini (48), ada disamping rumah. Wanita itu sedang menganyam pandan, sedangkan ayahnya, Muji (50), telah pergi ke sawah.
Di Bali, seorang anak kelas V SD mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. I Made Sudi Adnyana (11) siswa SD asal Banjar Karyasari, Pupuan, Tabanan nekat gantung diri, gara-gara tak memiliki baju safari. Masih di Bali, gara-gara orang tuanya tidak mampu membiayai keperluan sekolahnya, seorang pelajar SMP PGRI 4 Denpasar, Gede Surya Sanjaya nekad mengambil jalan pintas.
Remaja berusia 13 tahun ini, Rabu (1/12) sekitar pukul 12.00 Wita tewas gantung diri di kamar rumahnya di kawasan Pesanggaran Denpasar. Reniti, ibu kandungnya yang melihat anaknya tergantung tak bernyawa lagi menjerit histeris. Ibu dari dua orang anak ini tak kuasa menahan tangis, setelah mengetahui anak sulungnya itu nekad bunuh diri. Menurut Reniti, beberapa hari belakangan ini, Gede Surya Sanjaya meminta agar dibelikan sejumlah keperluan sekolahnya, termasuk buku. Namun, lanjut Reniti, karena belum mempunyai uang, akhirnya kebutuhan sekolah anaknya itu tidak dapat dipenuhi.
"Saya tidak menyangka kalau karena keperluan sekolahnya belum dipenuhi itu akhirnya dia gantung diri," ujar Reniti Siswa kelas 2 SMAN 3 Sumbawa Besar, Rodi Ardiansyah (16) menemukan ajalnya di tali gantungan. Korban ditemukan tewas di sebuah pondok di tengah sawah.
Informasi yang diperoleh, Senin (11/7) kemarin, menyebutkan Rodi saat pembagian rapor di sekolahnya, Sabtu (9/7) lalu tak naik ke klas 3. Setelah pulang ke rumahnya di Boak, Kecamatan Untir Iwes, korban terlihat murung, tapi seorangpun tak menyangka korban akan melakukan perbuatan senekad itu.
Setibanya di rumah, Rodi memberitahu orang tuanya ia mau ke luar rumah, tapi tak dijelaskan ke mana ia pergi. Setelah hari mulai senja, keluarga korban sibuk mencari ke beberapa tempat. Upaya pencarian dilakukan ke tengah sawah Untir Temang, yang jaraknya tak jauh dari rumah korban. Di tempat ini Rodi ditemukan sudah tewas diduga akibat gantung diri.
'Korban ditemukan tewas gantung diri di sebuah pondok di tengah sawah dekat Dusun Boak Dalam sekitar pukul 18.30 wita. Setelah ditemukan, jenazah korban dibawa pulang oleh keluarganaya,' jelas seorang warga.
Hampir semua korban yang nyawanya bisa diselamatkan, akan cacat mental untuk selamanya karena kerusakan sel otak secara permanen.
Kasus bunuh diri di kalangan anak SD menunjukkan telah terjadi stres menyeluruh di semua lapisan masyarakat. Kasus ini kata psikiater Prof Dr Luh Ketut Suryani, mesti segera disikapi semua pihak, terutama jajaran pendidikan. Tragedi ini mesti dikaji lebih jauh -- adakah yang salah dalam penerapan pendidikan selama ini. Apakah karena anak-anak terlalu sibuk belajar, les ini dan les itu, sehingga tidak memiliki kesempatan bermain? Inilah yang perlu dikaji kembali, kata Kepala Bagian Psikiatri FK Unud tersebut.
Tindakan bunuh diri seperti itu, kata Suryani, dipengaruhi banyak faktor, seperti putus asa, depresi dan psikosis alias gangguan jiwa. Dalam kondisi terganggu jiwanya, terkadang orang mendengar alusinasi. Perintah suara yang didengar itu pun dilakukan.
Mengantisipasi kemungkinan anak-anak melakukan tindakan bunuh diri, kata Suryani adalah dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada mereka untuk menikmati masa anak-anaknya. Beban di sekolah hendaknya dikurangi. Selain itu pendalaman soal agama juga perlu terus ditingkatkan dan diarahkan pada bentuk yang sesuai dengan psikologi anak. Misalnya saja pengajaran tidak hanya dengan menghafal tetapi juga melalui cerita-cerita.
Prof Suryani mengatakan, anak-anak usia SD mestinya tidak dijejali dengan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga penting penanaman nilai-nilai budi pakerti dan ajaran agama. Anak-anak mesti diingatkan bahwa tindakan bunuh diri itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama.
Menanggapi kasus yang menimpa sejumlah generasi bangsa yang masih membutuhkan banyak uluran perhatian dan kasih sayang itu, psikiater, dr Didi Aryono Budiyono, Sp KJ dari RSUD dr Soetomo menilai, salah satu penyebab anak nekad bunuh diri karena faktor depresi. 'Depresi anak ini sangat spesifik. Berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa.'
Jika punya masalah, orang dewasa bisa mengungkapkan masalahnya lewat omongan. Sementara anak-anak cenderung memendam persoalannya sendirian dan menarik diri dari pergaulan. Itu sebabnya, Didi menyarankan, orang tua harus mencermati tingkah laku anak-anaknya. 'Kalau tahu si anak punya masalah harus diajak komunikasi dari hati ke hati agar si anak tidak merasa sendirian menanggung beban,' ujarnya.
Psikolog Dr ML Oetomo juga berpendapat kasus bunuh diri akibat depresi yang dirasakan anak dalam tempo yang cukup panjang. Sialnya, orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar korban tak menyadari dengan kondisi psikologis si anak. Depresi bisa terjadi akibat banyak hal, tapi umumnya karena si anak tak kuat menghadapi kenyataan, antara banyaknya tuntutan dari lingkungannya dengan kemampuan dirinya, ujarnya.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, secara khusus menyatakan keprihatinannya melihat fenomena banyaknya anak-anak usia sekolah yang mengakhiri hidupnya secara tragis. Menurut Imam, kenyataan ini tak terlepas dari fakta bahwa anak-anak sekolah, terutama di Jakarta dan sekitarnya, mengalami tekanan sosial (social pressure) atau tekanan kelompok (group pressure) yang sangat serius. Tekanan itu bersumber dari banyaknya beban pelajaran karena sekolah sangat berorientasi pada pelajaran normatif yang menganggap nilai adalah segala-galanya.


Makassar, 17 Juli 2005

Awas...AIDS di Depan Pintu Rumah Kita

Infeksi Human Immunodefidiency Virus (HIV) tidak hanya terjadi karena adanya perilaku seksual yang tidak sehat, tapi juga bisa melalui penggunaan jarum suntik, pisau cukur secara bersama-sama, bahkan melalui transfusi darah. Fatalnya masyarakat tidak pernah menerima informasi yang benar tentang HIV/AIDS.
Temuan fakta bahwa setiap hari setidaknya ada 14 ribu orang di dunia yang terinfeksi HIV, boleh jadi mencengangkan banyak pihak. Dari jumlah tersebut separuhnya di derita oleh usia produktif sekitar 15-24 tahun. Di Indonesia data akurat tentang perkembangan infeksi HIV di masyarakat, tidak pernah dimiliki oleh pemerintah.
Peran media dalam upaya memberikan informasi yang benar dan akurat terhadap masyarakat mengenai HIV/AIDS, sangat penting. Peran media sangat penting dan strategis untuk menginformasikan secara benar bagaimana HIV/AIDS itu bisa menular dan harus dicegah bagi masyarakat yang belum terinfeksi.
Selama ini banyak masyarakat yang salah mengartikan HIV/AIDS karena mereka tidak memperoleh informasi yang benar. AIDS, katanya, merupakan sekumpulan gejala penyakit yang menyerang seseorang setelah kekebalan tubuhnya dirusak oleh HIV. Jadi tidak benar ada orang yang meninggal karena AIDS, tapi yang benar adalah penderita AIDS meninggal karena penyakit lain seperti TBC akibat penderita sudah tidak memiliki kekebalan tubuh setelah terinfeksi HIV.
HIV/AIDS adalah ‘penyakit’ menular yang secara medis dapat dicegah. Yang menular adalah HIV sebagai virus sedangkan AIDS adalah kondisi ketika seseorang yang tertular HIV sudah memasuki masa AIDS antara 5 – 10 tahun setelah tertular. Karena AIDS bukan penyakit maka tidak bisa disembuhkan tapi bisa diobati dan tidak pula bisa menular. Salah satu cara untuk menghambat laju penyebaran HIV adalah penyuluhan dengan materi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang akurat dan objektif.
Selama ini materi KIE selalu dibalut dengan moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, seks di luar nikah, selingkuh, ‘jajan’, pelacuran, gay dll. Padahal, tidak ada hubungan langsung antara zina, seks di luar nikah, selingkuh, ‘jajan’, pelacuran, gay karena penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan itu HIV-positif. Kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak akan pernah terjadi penularan HIV biar pun mereka berzina, melacur, seks oral atau seks anal.
Penyebaran HIV/AIDS diketahui terjadi secara horizontal antar penduduk. Epidemi HIV/AIDS merupakan bom waktu di Indonesia. Indonesia tidak memiliki data akurat tentang jumlah pengidap HIV/AIDS positif, bahkan ada provinsi yang menyebutkan bahwa di wilayah mereka tidak terdapat penderita HIV/AIDS, hal ini menurut Syaiful justru membahayakan, karena kita tidak akan mampu memutus mata rantai penularannya, baik itu pada pengguna narkoba suntik, jarum tindik, tattoo, transfusi darah, maupun hubungan seks tanpa pengaman.
Pertambahan pengidap virus HIV/AIDS tersebut akan merupakan deret ukur. Semua itu terjadi tanpa mereka sadari. Sebab, sebelum mencapai masa AIDS 5-10 tahun, tidak ada gejala fisik yang khas. Yang muncul selama ini hanya mitos atau anggapan salah tentang HIV/AIDS. AIDS adalah fakta medis yang bisa dicegah menggunakan teknologi kedokteran tanpa harus mengait-ngaitkannya dengan moral dan agama, terutama bagi mereka yang sudah dinyatakan positif HIV/AIDS. Demikian oleh-oleh dari pelatihan yang saya ikuti di Makassar Desember dua hari lalu.

Makassar, 6 Desember 2005

Quic Count vs Dukun

Quick Count, atau sistem perhitungan cepat pemilihan umum, Pilkada gubernur atau bupati, menyentak kita saat kemenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan HM Jusuf Kalla, dengan demikian cepat diketahui. Namun dari sejumlah lembaga penyelenggara quick count, PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang akhirnya paling terlihat menonjol.
Sebelumnya petinggi Partai Golkar, sudah mempercayai proses rehabilitasi pamor mereka pada PT LSI, yang dikendalikan Denny JA, sebagai direktur eksekutif, tak heran jika kemudian Prio Budi S, bisa tampil di sejumlah TV swasta dengan suara lantang, menjelaskan bagaimana Partai Golkar mampu bertahan dari gempuran partai reformasi. Semua itu tak lepas dari jasa konsultasi PT LSI.
Kembali soal quick count, yang sejatinya adalah perhitungan suara di sejumlah sampel TPS yang dipilih secara acak dari seluruh populasi TPS yang ada. Sampel dipilih secara random, dikawal relawan di masing-masing TPS untuk melaporkan hasil setelah ditabulasi dan dihitung. Hasilnya, menurut PT LSI, tetaplah sebuah perkiraan (pendugaan) persentase perolehan suara masing-masing kandidat. Hasilnya sudah bisa diketahui, siapa gubernur, walikota atau bupati terpilih.
Tujuan quick count, kata Fajar Estamin, salah seorang pentolan PT LSI di Pilgub Sulsel, kepada penulis adalah dengan statistik yang tepat, cepat, praktis, murah, akurat dan dapat dipercaya untuk mengetahui hasil pilkada. "Selama ini kami tak pernah meleset, selisihnya paling jauh 1%," katanya. Hasil itu pula bisa dijadikan sebagai data pembanding bagi KPU. Alasan lain yang dikemukakan PT LSI, yakni hasil yang mereka keluarkan bisa menjadi katup pengaman dalam mengurangi ketegangan publik dan politik lokal yang disebabkan adanya selang waktu perhitungan manual yang dilakukan KPUD, yang biasanya membutuhkan waktu satu hingga dua minggu. Alasan itu boleh jadi layak dipercaya, mengingat di 6 pilkada diantaranya Kabupaten Sarolangun, Maluku Tengah, Kota Ambon, Kota Kupang, Bangka Belitung, DKI Jakarta, hasil mereka membuat sejumlah dukun politik gigit jari dan mati pasaran, bahkan mati kutu.
Lalu mengapa harus menimbulkan pro kontra?. Alasannya sangat sederhana, kekalahan selalu dengan berat hati bisa diterima, terlebih jika dalam proses pertarungan sudah menguras bukan saja tenaga, melainkan biaya, bahkan harga diri. Satu-satunya alasan rasional yang bisa dijadikan pembenaran, guna menolak hasil quick count yang oleh mereka yang ternyata sudah dikalahkan sebelum palu sidang pleno KPUD diketok adalah, metode quick count, masih dalam taraf perdebatan.
"Di negara tempat metode quick count itu lahir, masih berlangsung perdebatan soal akurasi hasilnya," kata Prof Dr H Anwar Arifin, anggota DPR-RI saat ditemui penulis sehari usai pengumuman hasil pilgub Sulsel oleh PT LSI. Namun menurut pakar komunikasi itu, lembaga pengelola quick count, masih terus berupaya memperbaiki metode mereka. Terlebih di Indonesia, yang secara geografis memiliki daerah-daerah yang agaknya sulit terjangkau transportasi maupun komunikasi. Namunpun demikian, kata Prof Anwar, kenyataan saat ini hasil quick count, memuaskan sejumlah pihak.
Komentar lain yang sempat didengar penulis dari kubu mereka yang merasa dikalahkan sebelum pleno KPUD adalah, "Jelas saja hasilnya menang, karena itu diorder, dibayar ratusan juta rupiah, sehingga sangat tidak etis kalau dikalahkan," kata sumber Upeks itu dengan nada kurang senang. Benarkah order dan bayaran, bisa membeli keakuratan hasil pilkada?. Indonesia, negeri yang baru saja menikmati kemerdekaannya dalam hitungan puluhan tahun, sudah bisa menjajari Amerika Serikat, dalam menjalankan roda demokrasi moderennya dalam hal memilih pemimpin. Maka tak perlu heran, jika kemudian metode quick count, yang lahirnya lebih muda dari model makanan siap saji semisal kentucky fried chicken, memaksa kita harus menelan keajaiban baru bernama demokrasi perhitungan cepat.
Belum lagi soal tardisi orang pintar alias dukun, yang selama ini dipakai dan dipercaya oleh para pemburu jabatan alias pejabat dan calon pejabat. Dukun, terkadang menjelang pilkada mereka tumbuh subur bak cendawan di musim hujan, hasilnya boleh jadi benar, hampir benar, bahkan kebanyakan salah, sehingga salah seorang pejabat di Kota Makassar, usai terpilih, kepada penulis berkata, "Makanya jangan pakai dukun luar, pakai saja yang produk lokal, toh hasil mereka salah semua."
Lembaga survei, dengan metode quick count, memang sedang berjuang memantapkan posisi mereka dalam iklim demokrasi kita yang tengah beranjak modern, dan dewasa secara instan. Resikonya, bukan hanya kejutan-kejutan akibat belum terbiasanya otak dan hati kita menerima kinerja statistik, melainkan telah mendarah dagingnya jiwa kita dengan komentar serba pasti yang dikeluarkan para dukun politik kagetan tadi. Tetapi boleh jadi, saat ini kita juga sedang belajar memahami dengan 100% keyakinan bahwa mentalitas spekulasi, manipulasi serta animisme, dalam sistem perpolitikan kita, sudah bakal tergeser habis oleh metode baru yang bernama quick count.

Jumat, 22 Februari 2008

Dam Bili Bili

Danau Dam Bili-Bili Menyimpan Potensi Wisata Danau
Jika sedang berada di Makassar, dulu Ujungpandang, anda boleh menyempatkan diri untuk mengunjungi lokasi wisata baru, yang lima tahun terakhir, telah disulap dengan mengesankan menjadi kawasan wisata yang indah. Danau dan Dam Bili-Bili, adalah proyek pengairan yang membendung sungai Jeneberang, dengan menutup dua gunung, sehingga air sungai meluap menjadi danau. Proyek raksasa ini dikerjakan oleh kontraktor Jepang, dengan lama kerja hampir empat tahun.

Danau dan Dam Bili-Bili, menenggelamkan hampir tujuh desa, dua kecamatan, dengan areal ribuan hektar. Kawasan ini adalah jalur transportasi menuju kota persitirahatan Malino yang bersejarah dan indah. Kontur lahan yang berbukit dan pegunungan, menjadikan Danau Dam Bili-Bili seperti danau Toba sepintas lalu jika diamati. Disisi kiri kanan jalan telah dibentuk jalan yang meliuk mengikuti alur bukit yang telah dikonservasi, sebagai hutan lindung.

Langkah konkret pemda Gowa yakni membangun prasarana yakni terminal, pemberhentian bus atau kendaraan, bungalow rumah makan atau restoran dan tidak lupa menggalakkan penduduk, dan investor, guna membudidayakan ikan danau, diantaranya ikan mas sebagai sentra produksi perikanan darat. Di kawasan danau yang tenang dan luas itu kini telah tersedia berbagai fasilitas untuk menikmati keindahan danau, diantaranya perahu jetski dan rakit, yang dikomersilkan baik oleh investor maupun penduduk sekitar.

Filsafat Burung Merpati

Pontianak, 18 Januari 2003

Dalam keyakinan saya pada Khalik, sang pencipta, saya sering merenung, akan apa yang diciptakannya. Sebisa mungkin mengambil hikmah hidup darinya, bercermin dan belajar memahaminya, secara mendalam, sebisa akal menjangkaunya. Salah satu dari cernaan itu adalah kemauan untuk belajar filsafat hidup, dari makhluk ciptaan lainnya, yang hidup disekitar kita. Kali ini yang bisa kita jadikan cermin untuk dipelajari dan dipetik hikmahnya adalah Burung MERPATI.

Dalam banyak hal, merpati sering dijadikan simbol, baik perdamaian, kesetiaan juga kesucian. Ada pertanyaan mengapa demikian. Hal ini lebih dikarenakan merpati memiliki tiga sifat dasar yang sangat patut dicontoh, atau dipelajari oleh manusia, agar menjadi manusia yang berakhlak dan bermoral, menghormati hak dan wilayah pemilikan, orang lain atas kepunyaan mereka. Diantaranya adalah sbb:

1. SETIA :
Cobalah amati burung merpati betina yang memasuki usia dewasa, untuk reproduksi. Jika merpati jantan pertama kali mendekati dan berhubungan (kawin), dengannya, maka besok pagi atau hari selanjutnya, dia akan senantiasa mengekor pada si jantan, kemanapun si jantan pergi. Prilaku ini diikuti dengan menolak jika ada jantan lain yang berusaha mendekati untuk tujuan kawin. Kemana-mana mereka berdua, cari makanpun demikian, jantan akan mematuk untuk memancing sibetina makan.

2. TOLONG MENOLONG :
Jika masa perkawinan membuahkan hasil, si betina bertelur, maka ia akan memasuki masa mengeram. Telur beberapa butir itu akan ditunggui secara bergantian. Jika betina makan, maka sang jantan akan menggantikan posisinya untuk mengerami dan menghangatkan telur benih mereka, itu berlangsung terus hingga telur menetas. Menjadi anak-merpati baru yang mungil.

3. ANTI KEKERASAN :
Pengalaman ini dialami sendiri oleh orangtua saya, bahwa merpati tidak sudi, menyaksikan pertumpahan darah dan kekerasan juga kematian. Jika seseorang memelihara merpati, maka sebelum kematian menjemputnya, merpati telah lebih dahulu meninggalkan sarangnya. Ketika jaman pertempuran antara Jepang dengan Sekutu, burung merpati yang jumlahnya ribuan ekor, punya kakek saya yang menghuni rumah, pohon mangga, plafon, berterbangan pergi, tanpa seekorpun yang tertinggal, ternyata dua hari kemudian pasukan Jepang membombardir kota Ambon, dengan bom dari udara, sehingga berjatuhan banyak korban, termasuk pohon mangga tempat mereka biasa berteduh.

Inilah sekilas perenungan dalam memahami filsafat hidup makhluk, di sekitar kita. Alangkah indahnya hidup yang disertai prinsip merpati, dimana kesetiaan dan anti kekerasan bersemayam dalam jiwa kita. Semoga saya tidak keliru dalam memahami ini.(*)