Minggu, 24 Februari 2008

Biaya Sekolah Pembawa Kematian

Selamatkan anak-anak kita dari ancaman bahaya bunuh diri. Depresi, tekanan sosial, rasa malu, dipermalukan, minder berlebihan, dan kemiskinan membuat sebagian anak-anak kita di berbagai daerah memutuskan BUNUH DIRI...! Belum kering dari ingatan kita semua, Heryanto (12 tahun) seorang siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) Muara Sanding IV Garut, Jawa Barat mencoba gantung diri karena tidak mampu bayar biaya kegiatan ekstrakurikuler sebesar Rp2.500. Nyawanya anak sulung dari tiga bersaudara keluarga Suryana (42) yang sehari-hari bekerja sebagai buruh pikul di Pasar Ciawitali masih terselamatkan oleh tim medis Rumah Sakit Dokter Slamet, Garut, Jawa Barat.
Simak saja kisah Aman Muhammad Soleh (14), siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Bocah asal Kampung Cabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara itu nekat mengakhiri hidupnya di usia muda dengan menggantung diri dan juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasannya, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya, orangtuanya tak bisa menyediakan uang sebesar Rp150.000 untuk membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah.
Masih seputar usaha bunuh diri remaja belasan tahun, Linda Utami (15), siswi kelas II SLTPN 12 Jakarta, juga ditemukan tewas gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia diduga mengakhiri hidupnya karena depresi. Pasalnya, ia sering diejek temannya gara-gara pernah tidak naik kelas.
Nazar Ali Julian berusia 13 tahun. Dia bukan orang terkenal. Di sekolah,Nazar dikenal rajin dan tergolong pandai. Dia juga anak baik, rajin ke masjid, shalat, dan puasa Senin-Kamis.
Belakangan ini, setelah kedua orang tuanya bercerai, Nazar berubah. Dia lebih suka tidur di rumah temannya, tidak di rumah bibinya di Kampung Ciwalen Pasar, Desa Ciwalen, Cianjur. Mungkin dia kesepian. Apalagi ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi sejak dua bulan lalu.
Sabtu (14/2) sore, Nazar yang baik dan santun itu mengambil pisau dapur. Dia masuk ke kamar mandi dan menghunjamkan pisau tersebut berkali-kali ke perutnya. Nazar, remaja yang baru tumbuh, bunuh diri! Nazar jatuh dan terkapar berlumur darah.
Nurdin bin Adas berusia 12 tahun. Pekan lalu warga Kampung Cikareo, Desa Salakuray, Garut, itu ditemukan tewas tergantung di plafon dapur rumah kakaknya. Nurdin diduga bunuh diri karena tak kuat menahan kerinduan kepada almarhumah ibunya.
Oktober 2004, Bambang Surono berusia 11 tahun, murid kelas V SD warga Semarang, JawaTengah, ditemukan tewas tergantung. Diduga Bambang bunuh diri.
Eko Haryanto (15), siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, melakukan upaya bunuh diri lantaran malu gara-gara menunggak uang sekolah selama 10 bulan. Tindakan nekat itu ia lakukan dengan cara menggantung diri menggunakan selendang di ruang tamu rumahnya. Oleh orangtuanya, bocah tersebut segera dilarikan ke rumah sakit. Jiwanya memang tertolong, namun ia koma dan tidak sadarkan diri.
Menurut Sohirin, ayah korban, Eko mengaku malu dipanggil ke ruang guru untuk ditagih uang sekolah. Saat itu banyak pengajar yang berkumpul. Sohirin mengakui hampir satu tahun ini belum membayar uang sekolah anaknya karena penghasilan sebagai kuli songgol (membawa barang-barang di pasar) hanya cukup untuk makan. Sohirin sudah beberapa kali mengajukan beasiswa kepada pihak sekolah. Namun, tak pernah mendapat tanggapan.
Lain lagi kisah Aman Muhammad Soleh (14), siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Bocah asal Kampung Cabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara itu nekat mengakhiri hidupnya di usia muda dengan menggantung diri dan juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasannya, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya, orangtuanya tak bisa menyediakan uang sebesar Rp150.000 untuk membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah.
Masih seputar usaha bunuh diri remaja belasan tahun, Linda Utami (15), siswi kelas II SLTPN 12 Jakarta, juga ditemukan tewas gantung diri di kamar tidur rumahnya di Jalan Nipah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia diduga mengakhiri hidupnya karena depresi. Pasalnya, ia sering diejek temannya gara-gara pernah tidak naik kelas.
Di Bogor, diduga hanya gara-gara malu belum bayar uang buku sebesar Rp30 ribu, Mudin Rudiansyah (13) siswa kelas I Madrasah Tsnawiyah (MTS) Alhusna Curug, Kabupaten Tangerang, bunuh diri.
Anak yatim-piatu itu nekad mengakhiri hidupnya dengan gantung diri menggunakan tali di pohon kecapi di Kampung Pabuaran RT 05/03, Desa Curug Kulon, Tengerang. Mayat korban pertama kali ditemukan Sabtu (18/12) sekitar pukul 06.00 oleh Ima (26) tetangga korban.
Sebelum meninggal Mudin sempat menuliskan surat wasiat. Surat itu diselipkan di balik bukunya. Bunyi wasiat itu; 'Daripada saya menyusahkan mamang dan bibi terus, saya mau nyusul ibu dan bapak saja’’. Mudin selama ini diasuh oleh paman dan bibinya, Kohar dan Acih. Ayahnya sudah meninggal dunia satu tahun lalu. Sementara ibunya meninggal sembilan bulan lalu karena sakit.
Di Kebumen, sungguh memelas suratan hidup Sembodo. Bocah berumur 10 tahun siswa kelas empat SDN Pohkumbang, Kecamatan Karanganyar, Kebumen itu kemarin nekat gantung diri hanya karena tak dibelikan buku gambar. Dia memakai ban dalam sepeda warna merah untuk mengikat lehernya dengan urang-urang atau kayu bawah usuk. Berhubung tingginya belum cukup, diduga dia naik dari lincak (amben kecil) lalu memanjat karung berisi gabah. Lantaran masih belum sampai, dia memakai ceting (tempat nasi dari bambu) untuk mengaitkan ban dalam itu ke bawah usuk dan lehernya. Tragisnya, pada peristiwa pagi itu sebenarnya emaknya, Ratini (48), ada disamping rumah. Wanita itu sedang menganyam pandan, sedangkan ayahnya, Muji (50), telah pergi ke sawah.
Di Bali, seorang anak kelas V SD mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. I Made Sudi Adnyana (11) siswa SD asal Banjar Karyasari, Pupuan, Tabanan nekat gantung diri, gara-gara tak memiliki baju safari. Masih di Bali, gara-gara orang tuanya tidak mampu membiayai keperluan sekolahnya, seorang pelajar SMP PGRI 4 Denpasar, Gede Surya Sanjaya nekad mengambil jalan pintas.
Remaja berusia 13 tahun ini, Rabu (1/12) sekitar pukul 12.00 Wita tewas gantung diri di kamar rumahnya di kawasan Pesanggaran Denpasar. Reniti, ibu kandungnya yang melihat anaknya tergantung tak bernyawa lagi menjerit histeris. Ibu dari dua orang anak ini tak kuasa menahan tangis, setelah mengetahui anak sulungnya itu nekad bunuh diri. Menurut Reniti, beberapa hari belakangan ini, Gede Surya Sanjaya meminta agar dibelikan sejumlah keperluan sekolahnya, termasuk buku. Namun, lanjut Reniti, karena belum mempunyai uang, akhirnya kebutuhan sekolah anaknya itu tidak dapat dipenuhi.
"Saya tidak menyangka kalau karena keperluan sekolahnya belum dipenuhi itu akhirnya dia gantung diri," ujar Reniti Siswa kelas 2 SMAN 3 Sumbawa Besar, Rodi Ardiansyah (16) menemukan ajalnya di tali gantungan. Korban ditemukan tewas di sebuah pondok di tengah sawah.
Informasi yang diperoleh, Senin (11/7) kemarin, menyebutkan Rodi saat pembagian rapor di sekolahnya, Sabtu (9/7) lalu tak naik ke klas 3. Setelah pulang ke rumahnya di Boak, Kecamatan Untir Iwes, korban terlihat murung, tapi seorangpun tak menyangka korban akan melakukan perbuatan senekad itu.
Setibanya di rumah, Rodi memberitahu orang tuanya ia mau ke luar rumah, tapi tak dijelaskan ke mana ia pergi. Setelah hari mulai senja, keluarga korban sibuk mencari ke beberapa tempat. Upaya pencarian dilakukan ke tengah sawah Untir Temang, yang jaraknya tak jauh dari rumah korban. Di tempat ini Rodi ditemukan sudah tewas diduga akibat gantung diri.
'Korban ditemukan tewas gantung diri di sebuah pondok di tengah sawah dekat Dusun Boak Dalam sekitar pukul 18.30 wita. Setelah ditemukan, jenazah korban dibawa pulang oleh keluarganaya,' jelas seorang warga.
Hampir semua korban yang nyawanya bisa diselamatkan, akan cacat mental untuk selamanya karena kerusakan sel otak secara permanen.
Kasus bunuh diri di kalangan anak SD menunjukkan telah terjadi stres menyeluruh di semua lapisan masyarakat. Kasus ini kata psikiater Prof Dr Luh Ketut Suryani, mesti segera disikapi semua pihak, terutama jajaran pendidikan. Tragedi ini mesti dikaji lebih jauh -- adakah yang salah dalam penerapan pendidikan selama ini. Apakah karena anak-anak terlalu sibuk belajar, les ini dan les itu, sehingga tidak memiliki kesempatan bermain? Inilah yang perlu dikaji kembali, kata Kepala Bagian Psikiatri FK Unud tersebut.
Tindakan bunuh diri seperti itu, kata Suryani, dipengaruhi banyak faktor, seperti putus asa, depresi dan psikosis alias gangguan jiwa. Dalam kondisi terganggu jiwanya, terkadang orang mendengar alusinasi. Perintah suara yang didengar itu pun dilakukan.
Mengantisipasi kemungkinan anak-anak melakukan tindakan bunuh diri, kata Suryani adalah dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada mereka untuk menikmati masa anak-anaknya. Beban di sekolah hendaknya dikurangi. Selain itu pendalaman soal agama juga perlu terus ditingkatkan dan diarahkan pada bentuk yang sesuai dengan psikologi anak. Misalnya saja pengajaran tidak hanya dengan menghafal tetapi juga melalui cerita-cerita.
Prof Suryani mengatakan, anak-anak usia SD mestinya tidak dijejali dengan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga penting penanaman nilai-nilai budi pakerti dan ajaran agama. Anak-anak mesti diingatkan bahwa tindakan bunuh diri itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama.
Menanggapi kasus yang menimpa sejumlah generasi bangsa yang masih membutuhkan banyak uluran perhatian dan kasih sayang itu, psikiater, dr Didi Aryono Budiyono, Sp KJ dari RSUD dr Soetomo menilai, salah satu penyebab anak nekad bunuh diri karena faktor depresi. 'Depresi anak ini sangat spesifik. Berbeda dengan yang dialami oleh orang dewasa.'
Jika punya masalah, orang dewasa bisa mengungkapkan masalahnya lewat omongan. Sementara anak-anak cenderung memendam persoalannya sendirian dan menarik diri dari pergaulan. Itu sebabnya, Didi menyarankan, orang tua harus mencermati tingkah laku anak-anaknya. 'Kalau tahu si anak punya masalah harus diajak komunikasi dari hati ke hati agar si anak tidak merasa sendirian menanggung beban,' ujarnya.
Psikolog Dr ML Oetomo juga berpendapat kasus bunuh diri akibat depresi yang dirasakan anak dalam tempo yang cukup panjang. Sialnya, orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar korban tak menyadari dengan kondisi psikologis si anak. Depresi bisa terjadi akibat banyak hal, tapi umumnya karena si anak tak kuat menghadapi kenyataan, antara banyaknya tuntutan dari lingkungannya dengan kemampuan dirinya, ujarnya.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, secara khusus menyatakan keprihatinannya melihat fenomena banyaknya anak-anak usia sekolah yang mengakhiri hidupnya secara tragis. Menurut Imam, kenyataan ini tak terlepas dari fakta bahwa anak-anak sekolah, terutama di Jakarta dan sekitarnya, mengalami tekanan sosial (social pressure) atau tekanan kelompok (group pressure) yang sangat serius. Tekanan itu bersumber dari banyaknya beban pelajaran karena sekolah sangat berorientasi pada pelajaran normatif yang menganggap nilai adalah segala-galanya.


Makassar, 17 Juli 2005

Tidak ada komentar: